Wikipedia

Hasil penelusuran

Change Background of This Blog!



Pasang Seperti Ini

Selasa, 31 Mei 2016

KONSERVASI MORAL DALAM PERSEPSI MAHASISWA UNNES
  1. Pengantar
Di kalangan mahasiswa Universitas negeri Semarang, tiba-tiba saja istilah konservasi moral menjadi bagian dari kehidupan di kampus. Istilah ini dideklarasikan oleh mereka sendiri, atas prakarsa mereka sendiri, yang dimotori oleh Unit Kegiatan Kerokhanian Islam, dengan didukung oleh rokhis-rokhis seluruh fakultas di lingkungan Unnes. Deklarasi moral ini dilakukan  dalam musyawarah akbar UKKI bulan Juli 2010. Deklarasi ini merupakan break down dari spirit Unnes sebagai universitas konservasi, yang dideklarasikan oleh Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, di bulan Februari 2010. Rasanya ada kedekatan persoalan moral ini dengan aktifitas keagamaan., atau barangkali memang moral itu sumbernya adalah ajaran agama.
Pada saat gegap gempita deklarasi konservasi, yang berawal mula dari relasi manusia dengan lingkungan alam, maka mahasiswa pun tidak mau ketinggalan untuk mengambil bagian penting dan monumental dengan mendeklarasikan konservasi moral. Saat itu adalah hari minggu tanggal 15 Juni 2010 Jam 10.-00 bertempat di aula FBS Universitas Negeri Semarang, hanya berselang tiga bulan dari deklarasi Unnes sebagai universitas konservasi.
Sejenak saya berpikir, perlukah moral itu dikonservasi. Tetapi rasanya memang ada kandungan makna dan mnaksud yang dalam pada konservasi moral ini.
  1. Konservasi Moral
Moral merupakan belief system  yang bersisikan tata nilai dan menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu moralitas akan berjalan paralel  dengan budaya masyarakat.
Mengingat  budaya  merupakan refleksi tata nilai masyarakat yang beraneka ragam coraknya, menjadikan budaya itu pun beraneka ragam. Itulah sebabnya diskursus tentang moral sejak lama telah melahirkan paham-paham yang berbeda.
Dalam kajian historis, telah lama terjadi perdebatan panjang antara paham moral relative dengan moral absolute. Kelompok pertama dimotori oleh Hegel, sedangkan kelompok kedua dimotori oleh Arthur Schopenhauer.
Bagi kaum Hegelian, nilai adalah relatif, karena berkenaan dengan kesadaran kelompok manusia melalui dialektika yang panjang, berawal dati tesa, antitesa, dan sintesa. Kelak pun sintesa yang ditemukan akan berproses menjadi tesa baru. Titik akhir pencarian kebenaran bagi kelompok ini adalah ketika tercipta kesadaran akan sebuah kebenaran, yang merupakan kebutuhan bersama. Dalam konteks ini Hegel (dalam Bottomore, 2006) menyatakan: “It is not the consciousnessness of men that determines their existence, but on  the contrary, their social existence determines their consciousnessness”.
Paham moral relative ini menjadikan tiadanya standar nilai yang berlaku secara universal. Dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi di tengah masyarakat, manakala nilai itu relatif, dan oleh karenanya kebenaran dan keadilan pun menjadi relatif.
Adalah Willian Kilpatrick (2002) yang mengkritik dengan tajam budaya orang Amerika, yang menurutnya, akibat paham Hegelian lah menjadikan masyarakat Amerika mengalami kemorosotan moral yang dahsyat.
Sedangkan kubu moral absolute menegaskan adanya standar nilai yang berlaku secara universal, untuk menjadi pedoman kehidupan masyarakat.  Standar nilai ini bersumberkan pada ajaran agama, hukum, kesepakatan, adat istiadat, dan sebagainya. Schopenhauer sebagai tokohnya, menegaskan bahwa ada kecenderungan dasar untuk berbuat baik, yang dimiliki oleh seluruh manusia dari berbagai latar belakang yang berbeda.
Menurutnya, compassion adalah sebagai titik awal dari perbuatan manusia yang bermoral. Salah satu ungkapan Schopenhauer yang menarik, seperti yang dikutip oleh Miller (2003) adalah : “whoever is filled with compassion will assuredly injure no one, do harm to no one, encroach on no man’s right, he will rather have regard for anyone, forgive everyone as far as he can, and all of this actions wil bear the stamp of justice and loving kindness”           
Karena sifatnya yang universal, moralitas akan berlaku untuk seluruh kehidupan pada berbagai budaya dan tradisi masyarakat.
Perbedaan antara dua paham di atas sesungguhnya hanya persoalan perspektif saja. Yang pertama berkenaan dengan praksis moral dalam kehidupan masyarakat yang mau tidak mau pasti bersinggungan dengan budaya (what it is). Sedangkan yang kedua berkenaan dengan idealism moralitas yang seharusnya terjadi dalam relasi kehidupan (what should be). Akan tetapi menjadi sebuah realitas di masyarakat , bahwa moralitas lebih cenderung mengikuti dinamika budaya, ketimbang sebaliknya. Itulah sebabnya sejarawan Inggris Arnold J. Toynbee  memberikanwarning persoalan ini melalui teorinya “radiasi budaya”.
Inti dari teori tersebut adalah bahwa keberadaan beraneka budaya dimuka bumi ini saling memberikan imbas dan intervensi. Intervensi yang paling mudah dilakukan adalah pada aspek budaya yang kandungan nilainya rendah, sedangkan sebaliknya akan sulit dilakukan intervensi dari satu budaya ke budaya lainnya pada aspek budaya yang kandungan nilainya tinggi.
Dalam konteks inilah betapa kemudian konservasi moral memiliki makna yang dalam. Moralitas masyarakat yang berbasiskan nilai dan budaya luhur bangsa  hendaknya dilinungi, dipelihara, dan diberdayakan secara bijak, untuk menjadi pedoman kehidupan masyarakat.
  1. Kompleksitas Moral
Secara etimologis istilah moral berasal dari Bahasa Latin mores yang berarti adat isitiadat, kebiasaan, cara hidup. Pengertian tersebut mirip dengan kata ethos dari Bahasa Yunani, yang kemudian dikenal dengan etik. Yang terakhir ini pun mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan (Poespoprodjo, 1996). Ada pula kata lain yang mempunyai arti yang sama yaitu Akhlaq (Bahasa Arab), yang berasal dari katakhalaqa (khuluqun) yang berarti tabi’at, adat istiadat, atau kholqun yanng berarti kejadian atau ciptaan. Jadi akhlak ini merupakan perangai atau sistim perilaku yang dibuat, dan oleh karena itu keberadaannya bisa baik dan bisa pula jelek, tergantung pada tata nilai yang dijadikan rujukannya ( Daradjat, 2004).
Dalam perbendaharaan kata-kata Bahasa Indonesia, banyak istilah yang memiliki pertautan makna dengan moralitas ini, seperti susila, budi pekerti, kepribadian, dan sebagainya. Manakala disebut salah satu atribut di atas dari seseorang maka sebutan itu terkait dengan masalah moralitas. Namun padanan kata yang sering digunakan untuk moralitas ini adalah etika. Bahkan kedua kata ini lazim dijadikan sebagai sinonim antara sesamanya.
Meskipun secara etimologis istilah moral mengandung arti adat istiadat, kebiasaan, atau cara hidup, namun secara substantif tidak sekedar bermakna tradisi kebiasaan belaka melainkan berkenaan dengan baik buruknya manusia sebagai manusia. Dengan kata lain moralitas ini merupakan tolok ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari sisi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai peelaku peran tertentu. Dengan demikian moral mengandung muatan nilai dan norma yang bersumberkan pada hati nurani manusia. Hal ini seperti ditegaskan oleh Setiadi (2010): “… maksudnya bukan sekedar apa yang biasa dilakukan oleh orang atau sekelompok orang itu, melainkan apa yang menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan yang tidak patut untuk dilakukan perbuatan insani/actus humanus”.
Poespoprodjo (1996) pun menegaskan tentang subtansi moralitas senada dengan penegasan di atas sebagai berikut: “… kebiasaan yang lebih fundamental, berakar pada sesuatu yang lengket pada kodrat manusia sepertri mengatakan kebenaran, membayar hutang, menghormati orangtua, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan tersebut bukan sekedar kebiasaan atau adat semata, melainkan perbuatan yang benar, dan jika menyeleweng dari padanya berarti salah”.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa moral merupakan standar kualitas perbuatan manusia yang dengannya dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut benar atau salah, baik atau buruk, dalam ukuran tata nilai yang bersumberkan pada hati nurani manusia. Perbuatan-perbuatan yang  bertentangan dengan tata nilai yang bersumberkan pada hati nurani manussia, dengan demikian dikatakan sebagai perbuatan moral.
Orang yang bermoral adalah orang yang memenuhi ketentuan-ketentuan kodrat yang tertanam dalam dirinya sendiri. Pengejawantahannya adalah mulai dari munculnya kehendak yaitu kehendak yang baik sampai kepada adanya tingkah laku dan tujuan yang baik pula. Predikat moral mensyarat akan adanya kebaikan yang berkesinambungan, sejak munculnya kehendak yang baik sampai kepada tingkah laku dalam mencapai tujuan yang juga baik, dan karena itu orang-orang yang bertindak atau bertingkah laku baik kadang-kadang belum dapat disebut sebagai orang yang bermoral.
Meskipun kebenaran tata nilai bersifat relatif antar beberapa kelompok masyarakat, namun kebenaran moralitas lebih bersifat universal. Hal ini dikarenakan pada karakteristik moral itu sendiri yang bersumberkan pada suara hati nurasi manusia. Pada dasarnya ada dua macam suara hati murni, yaitu suara hati nurani yang mengarah pada kebaikan dan suara was-was yang mengarah pada kebaikan dan suara was-was yang mengarah pada keburukan. Jika keinginan berbuat baik ditekan, dalam arti meninggalkan untuk berbuat baik sesuai denga norma yang berlaku, maka suara hati memanggil-memanggil dan ingin mengarahkan pada hal-hal yang baik dan benar. Suara batin ini  mengingatkan bahwa perbuatan itu kurang baik atau tidak baik. Suara itu berupa seruan dan himbauan yang memaksa untuk didengarkan (Drijarkara, 1996). Kehadiran suara hati nurani ini bahkan datangnya secara tiba-tiba dan kuat sekali pengaruhnya pada diri seseorang. Martin Heidegger mengungkapkannya, es ruft widererwaarten und gaar widerwillen, der ruf kommt aus mich und doch uber mich.
Suara hati nurasi berfungsi untuk menahan manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang tercela. Keberadaannya cukup kuat dalam diri seseeorang sehingga meskipun manusia mencoba untuk mengabaikan atau menindasnya, tetap saja suara hati nurani berseru dan terdengar agar manusia tidak berbuat yang menyimpang dari prinsip-prinsip kesuliaan. Suara hati nurani ini terdengar barik sebelum seseorang berbuat sesuatu, sedang berbuat maupun setelah selesai berbuat. Jika perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan jahat dalam arti tidak sesuai dengan kodrat kemanusiaan, maka suara hati nurani ini menuduh-nuduh. Oleh karen aitu betapa pun jahatnya manusia, tatkala melakukan suatu perbuatan yang buruk, pasti ada setitik kesadaran bahwa perbuatannya itu keliru. Sebagai ekspresinya mungkin dia merasa rendah diri, merasa berdosa terus menerus, atau bahkan melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena merasa tertekan oleh peringatan-peringatan yang diserukan oleh suara hati nurani. Suara hati nurani ini mengajak manusia agar sadar untuk melakukan perbuatan yang susila. Kesadaran ini merupakan kesadaran moral yang menuntut tidak sekedar pengertian akal, melainkan pengertian dari seluruh pribadi manusia yang bersifat batiniah dan mendalam.
Jadi suara hati nurani ini ada pada setiap orang, sebagai bekal kodrat kemanusiaannya. Oleh karena itu pada dasarnya setiap orang itu baik, setiap orang adalah bermoral, sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Namun karena kehidupan manusia terkait dengan banyak variabel baik yang bersifat intern datang dari diri manusia itu sendiri maupun yang bersifat ekstern datang dari lingkungan kehidupannya, maka keberadaan suara hati nurani dalam diri manusia ini beragam keadaannya, ada yang kuat ada pula yang lemah. Drijarkara (1996) menegaskan, meskipun pada dasarnya manusiaitu selalu cenderung berbuat baik, tetapi kesadaran moral tidaklah datang dengan sendirinya. Kesusilaan harus diajarkan dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian dapatlah terbentuk manusia susila lahir dan batin.
Jika ditarik pembicaraan ini dalam monteks keislaman maka suara hati itu pada dasarnya iman, karena salah satu pilar keimanan adalah pembenaran dalam hati dengan suara hati (tashdiqun fil qolb).
Dalam kaitan dengan keberadan iman dalam diri manusia ini, Nabi Muhammad sudah diperingatkan melalui salah satu haditsnya, hadits tersebut menyuratkan secara tegas, bahwa keberadaan keimanan dalam diri manusia itu dapat sangat kuat sehingga seluruh perilaku dan pola fikirnya dilandaskan pada keimanan kepada Tuhan, dapat juga iman itu lemah, bahkan dapat pula iman tersebut terkubur oleh faktor lain yang bertentangan dengan iman itu sendiri.
Selain menunjukkan eksistensi iman dalam hati manusia, hadits itu pun mengisyaratkan perlunya pemupukan dan pembinaan keimanan agar terpelihara dari kerusakannya (kekufuran). Upaya-upaya pemupukan dan pembinaan ini tidak lain adalah pendidikan dalam arti luas. Dalam pola pemikiran demikian, maka menurut hemat penulis proses-proses pendidikan dalam kajian ini khususnya pendidikan moral merupakan fitrah keagamaan (Islam). Dan oleh karena itu dalam kehidupan keluarga, orang tua wajib melakukan pendidikan moral bagi anak-anaknya, sebagai bekal untuk mereka dalam menjalankan kehidupan di masa mendatang. Tentang pendidikan moral dalam keluarga ini akan dibicarakan pada bagian mendatang.
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah bahwa moralitas yang merupakan dasar kodrat kemanusiaan senantiasa berinteraksi dengan banyak faktor, baik yang muncul dari dalam individu maupun yang datang dari lingkungan, di mana faktor-faktor ini mengandung muatan nilai yang bertentangan dengan moralitas (counter values). Oleh karena itu moralitas seseorang dengan sendirinya merupakan resultante dari interaksi antara suara hati nurani manusia dengan banyak faktor yang bersifat kontra dengan suara hati nurani tersebut, itulah sebabnya secara empiris antara beberapa masyarakat dengan strata sosial yang berbeda memiliki moralitas yang berbeda pula. Orang-orang miskin dengan kebudayaan kemiskinannya pun dengan demikian memiliki moralitas tersendiri.
Tentang karakteristik manusia yang bermoral, banyak para ahli memberikan pendapat akan hal ini. Downey dan Kelly (2002) mengemukakan kualifikasi a moral educated person, sebagai berikut:
“1. Aware of the need to take account of such factual evidence in reaching his conclutions, 2. aware that moral learning is a function of every thing, 3. his moral autonomy able to make dicessions and choices, 4. able to act in moral way, know and understand the feeling of otther, 6. have a positive commitment towards the value of morality and other people’s feelings, 7. his humanities and enables live as a moral being”.
Sedangkan Aristoteles melukiskan orang yang bermoral ialah orang yang sosok dirinya menampilkan hal-hal berikut: couraage, temperance, liberality, magnificience, high mindedness, gentleness, truthfulness, wittness, and justice (Poespoprodjo, 1996).
Selanjutnya Higgins (2001) mengemukakan profil orang bermoral yang dasarnya adalah tanggung jawab. Tanggung jawab yang dimaksud menurutnya meliputi: 1. needs and welfaare of the individual and others, 2. the of other, 3. moral worth atau perfect character, 4. intrinsic value of social relationship.
Dari beberapa pendapat mengenai karakteristik manusia bermoral, terdapat benang merah, bahwa kualifikasi karakteristik tersebut menunjuk pada kebaikan dalam segala kompleksitas kehidupan, dimana kebaikan ini tidak saja termanifestasikan dalam bentuk perilaku, tetapi sejak munculnya kehendak, dengan didasari oleh solidaritas kelompok.
  1. Moral Optimis sebagai Dasar Karakter Bangsa  
Akhir-akhir ini kita merasa risau dengan pemberitaan dua  sumber pemberitaan yaitu lembaga internasional The Found for Peace (Dana untuk Perdamaian) dan majalah Foreign Policy (Kebijakan Luar Negeri) tenrtang Indonesia. Keduanya berpangkalan di Amerika. Menurut kedua sumber pemberitaan tersebut dinyatakan bahwa Indonesia masuk kategori warning (peringatan) untuk menjadi sebuah Negara yang gagal (the failed state).
Kedua sumber pemberitaan tersebut menyajikan list tentang negara-negara di dunia, yang terkategorikan menjadi waspada, peringatan, moderat, dan berkelanjutan. Dengan mengambil variable kehidupan social, ekonomi, dan politik, kedua sumbver tersebut memaparkan list klasifikasi seluruh Negara di dunia atas dasar kategori itu. Indonesia masuk kategori warning (peringatan) bersama-sama dengan Israel tepi barat, Bolivia, Gmbia, Tanzania, dan sebagainya (http://en.wikipedia.org/wiki /List_of_countries by_Failed _States_Index).
Beberapa tokoh intelektual kerapkali menyampaikan sajian data dari sumber tersebut pada berbagai seminar dengan amat bersemangat, seolah menemukan data otentik bahwa bangsa Indonesia ini sedang menuju kegagalan, tinggal sekian persen lagi. Tidak merasa canggung juga mereka mengolok-olok bangsa sendiri beserta pemerintahannya. Kondisi yang demikian sudah tentu sangat kontra produkti dengan upaya membangun karakter bangsa.
Sajian data The Found for Peace dan majalah Foreign Policy tentang Indonesia sudah tentu masih debatable. Sebab hasil survey lain yang disajikan oleh The McKenzie Institute International  yang juga berpangkalan di Amerika, menunjukkan data tentang Indonesia yang sangat positif (lihat  http://www.mckenziemdt.org).
Siapapun kita, akan sadar sepenuhnya bahwa kondisi masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang sangat memprihatinkan. Setiap hari kita menyaksikan masyarakat bergolak dalam perilaku-perilaku yang tidak simpatik. Berbagai media pun, baik cetak maupun elektronik dalam kesehariannya selalu menyajikan berita-berita yang membuat hati para pemirsa semakin miris. Sejak berita tentang tawuran yang dilakukan oleh anak-anak pelajar, perampokan dan pemerkosaaan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, sampai pada perilaku korupsi yang dilakukan oleh orang-orang terhormat di negeri ini. Rasanya kita sudah terlalu jenuh dengan berita-berita semacam itu.
Pada tataran yang agak konseptual, perilaku masyarakat pun mengalami degradasi kehidupan yang sungguh luar biasa. Perilaku-perilaku santun, toleransi, solidaritas, kepedulian sosial, gotong royong, kerja keras dan semacamnya sebagai atribut good citizenship, tergantikan oleh budaya barbarian;  berupa kecurigaan, egoisme, anarkisme dan semacamnya.
Dalam kondisi seperti ini, bersikap arif adalah sebuah keniscayaan. Bersikap arif adalah menyadari akan kekurangan bangsa kita, untuk pada saat yang sama  dengan penuh optimisme memberikan kontribusi pada kebangkitan kembali, sesuai profesi masing-masing.
Kita menyadari betapa Indonesia sebagai negara besar dengan jumlah penduduk yang besar juga, memiliki kemajemukan dalam berbagai hal, mulai dari etnis, budaya, bahasa, keyakinan, dan tradisi. Kepentingannya pun sudah pasti bermacam-macam. Apalagi secara geografis negara kita yang terdiri atas ribuan pulau ini disatukan oleh laut yang sangat luas. Yang terakhir ini menjadikan komunikasi dan konsolidasi antar bagian di Indonesia sangatlah mahal.
Secara demografis Indonesia menempati posisi empat besar (242.968.342), setelah Cina (1.330.141.295), India (1.173.108.018), dan Amerika Serikat (310.968.342). Bandingkan dengan Perancis (64.768.389), Inggris (62.348.447), apalagi Malaysia (23.674.332) dan Singapura (4.701.069) (sumber diolah darilpkjababeka.blogspot.com). Begitu pula dengan luas wilyahnya, Indonesia pun berada di posisi 15 besar (1.904.569), setelah Amerika Serikat (9.826.675), Cina (9.596.960), Australia (7.686.850), dan India (3.287.590). Hanya saja Indonesia memiliki keunikan yang tidak dipunyai negara lain, yaitu sebagai negara kepulauan.
Dari data di atas ditunjukkan betapa kompleksitas negara Indonesia sangatlah tinggi. Oleh karena itu dapat diapresiasi betapa sulitnya pengelolaan negara yang amat majemuk, dengan penduduk besar dan gelaran geografisnya yang sangat luas.
Kita tahu bersama, bahwa sesungguhnya Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan berbagai potensi, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya pendukung. Sumber daya alam sangat berlimpah ruah. Tanah kita subur dengan pencahayaan matahari  yang sangat berkecukupan sepanjang tahun. Itulah sebabnya hutan, kebun, sawah, tambang, kekayaan laut, semua kita miliki. Begitu juga dengan sumber daya manusia, yang menempati posisi empat besar di dunia. Tidak kalah penting adalah juga sumber daya pendukung. Kekayaan adat istiadat, agama, budaya, bahasa, sejarah, dan sejenisnya merupakan pendukung penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari segalanya, kita memiliki Pancasila. Para the founding father’s bangsa mewariskan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai dasar negara dan filosofi bangsa, memiliki nilai-nilai luhur yang digali dari bumi Indonesia, dan mampu menyatukan kemajemukan bangsa. Seluruh agama, kebudayaan, etnis, yang ada di muka bumi Indonesia ini dapat bernaung di bawah Pancasila, hidup dan berkembang bersama dengan menjumjung tinggi kebersamaan, keselarasan, dan keserasian.
Inilah modal penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali bangkit meraih harga diri dan martabat yang sempat memudar. Jika pun generasi sekarang ini belum sempat untuk menata diri memainkan peran secara luhur dalam menjalankan amanah akibat konflik-konflik kepentingan yang begitu tajam, atau terlalu mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya dengan mengkhianati amanah bangsa, kita masih optimis bahwa generasi sesudahnya bisa melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan bangsa secara mendasar. Yang dimaksud generasi sesudahnya adalah kaum muda, para pelajar dan mahasiswa yang saat ini sedang menempa dirinya di sekolah dan kampus-kampus, untuk tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang paripurna.
  1. Pesan bagi Pembelajaran Pendidikan Karakter
Secara substantive pendidikan karakter berkenaan dengan pendidikan afektif. Aspek afektif merupakan aspek yang berkenaan dengan apa-apa yang terdapat dalam diri peserta didik  (the internal side), sehingga keberadaannya selalu tersembunyi. Dia berkenaan dengan dunia kejiwaan, cita-cita dan rasa, citra, serta keyakinan manusia. Seperti dikatakan oleh Graham (2002) “Affectife Learning deals with the emotional aspect of one’s behavior, the influences on our choice of goals, and the means we choose for attaining them. Those aspects include our emotions themselves, our tastes and preferences, attitude and values, morals and character, and our philosophies of life, or guading principles”
Aspek yang keberadaanya tersembunyi dan berada dalam diri peserta didik  sangat sulit untuk diketahui dan diukur, apalagi untuk dibina dan diarahkan melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. Namun demikian, dengan semakin berkembangnya dunia psikologi pendidikan diperoleh suatu adagium bahwa keyakinan akan sesuatu yang paling baik hendaknya merupakan hasil belajar (Learned Behavior), sebagai hasil dari proses internalisasi secara nalar dari para peserta didik terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Oleh karena itu proses pembelajaran yang terselenggara harus sampai pada aras proses komunikasi yang berkarakteristikkan interaksi edukatif,  sehingga merangsang timbulnya dialog internal dalam diri peserta didik.
Berkaitan dengan hal tersebut, perencanaan pesan-pesan pembangunan karakter dalam proses pembelajaran sangat diperlukan. Perencanaan dimaksud disesuaikan kejiwaan anak-anak. Perencanaan yang baik akan menghasilkan proses-proses pembelajaran yang kondusif bagi terjadinya dialog antara peserta didik dengan sumber belajar yang ada, yang pada gilirannya akan tertanam konsep-konsep pembangunan karakter dalam tingkatannya yang sangat sederhana dan konkrit.
Daftar Rujukan
Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd. 2015. Konservasi Moral Dalam Rangka Pendidikan Karakter. https://masrukhiunnes.wordpress.com/2015/01/26/konservasi-moral-dalam-rangka-pendidikan-karakter/ . Diakses pukul 19.56
Bottomore, T.B., Karl Marx. ; Selected Writings In Sociology And Social Philosophy. San Fransisco:Jossey-Bass.
Drijarkara, 1996, Percikan Filsafat, Jakarta: Pembangunan.
Downey, Mariel dan Kelly, A.V., 2002, Moral Education; Theory and Practice, London: Harper and Row Publication.
Graham, Douglass.2002Citizenship for the 21st century : An International perspective on Education, London : Kogan Page
Miller, Donald W., 2003. The philosophical Basis of the Conflict Between Liberty and Statism.New York: Simon &Schuster. 
Willian, Kurtines M. 2002. Morality, Moral Behavior, and Moral Development. New York: john Wiley & Sons.
Poespoprodjo, 1996. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya.
Setiadi, A. Gunawan, 2010. Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.